Ciwa Budha - Mpu Kuturan |
Ditulis oleh Ida Pandita Mpu Paramadaksa Purohita | |
Adu Kesaktian
Suatu hari saya mendapat telepon dari Pinisepuh bahwa nanti malam harus berkunjung ke Silayukti, Padangbai, Karangasem, Bali. Pinisepuh memerlukan tangkil ke Pura Perhyangan Silayukti karena atas petunjuk Beliau Ida Bhatara Mpu Kuturan juga disebut Mpu Rajakretha. Saya tidak berani bertanya apa-apa selain duduk menemani Pinisepuh.
Akhirnya saya dan Pinisepuh Agung Yudistira yang saya hormati melewatkan malam yang indah di atas tebing dan sekali-sekali dihibur oleh bel kapal laut dari pelabuhan Padangbai. Sebelumnya sedikitpun saya tidak paham tentang siapa sebenarnya Beliau Mpu Kuturan. Tetapi karena rasa penasaran, saya bertanya siapa sejatinya Beliau ini. Dengan sabar Pinisepuh bercerita sepatah-sepatah karena saya sangat awam dengan nama-nama Ida Bhatara. Saya menyerap pengetahuan ini dengan senang hati dan seperti ada rasa rindu untuk lebih banyak lagi mendengar cerita tentang Beliau. Beliau Mpu Kuturan adalah seorang penasehat raja di Jawa yang setelah pensiun menjadi Senopati dan penasehat raja-raja di Bali. Di sela-sela waktu sebagai petinggi Beliau bersemedhi di Silayukti. Di antara penjelasan tersebut saya bertanya kepada Pinisepuh, tadi sebelum tangkil ke Perhyangan Mpu Kuturan kami tangkil ke pura Perhyangan Mpu Bradah. Saya bertanya siapa Mpu Bradah dan kenapa Beliau juga mempunyai Pura Perhyangan di Silayukti ini? Mpu Bradah adalah salah satu saudara dari Mpu Kuturan yang menggantikan sebagai penasehat raja di Jawa setelah Mpu Kuturan pensiun. Mpu Kuturan mempunyai istri bernama Ratna Manggali yang mempelajari ilmu yang disebut Tantrayana yang jalannya adalah aliran kiri. Ratna Manggali kemudian dikenal juga dengan Calon Arang atau Walu Nateng Dirah atau Rondo Nateng Dirah. Rondo Nateng Dirah kalau sedang merapalkan ilmunya dan mereh mejadi bentuk lain disebut Calon Arang yang berwujud sangat seram dan menakutkan. Kalau di Bali seperti Rangda. Dan sebenarnya kata rangda ini berasal dari kata rondo bahasa Jawa atau artinya adalah janda. Dalam perkembangannya menjadi rongdo dan terdengar sebagai ‘rangda’ di Bali yang kemudian kata rangda ini seolah mewakili sesuatu yang menyeramkan. Akhirnya sosok Rondo Nateng Dirah atau Rangda Calon Arang ini mengganggu kerajaan dengan menyebarkan sakit grubug di wilayah kerajaan Airlangga. Semua punggawa dan kesatria kerajaan tidak ada yang bisa menandingi ilmu Rangda Calon Arang. Termasuk Mpu Bradah. Tetapi kemudian, Mpu Bradah mempunyai anak yang bernama Mpu Bahula yang dikawinkan dengan anak dari Calon Arang yang bernama Diah Ratna Manggali. Kemudian Mpu Bahula berhasil mencuri kitab Tantrayana yang kemudian diserahkan kepada ayahandanya Mpu Bradah dan serta merta mempelajarinya hingga pada suatu waktu bisa mengalahkan kesaktian Rangda Calon Arang. Mpu Bradah akhirnya mendapat gelar Inan Liak Lembah Tulis. Liak berarti: Linggih Ulian Aksara dan kemudian dikenal dengan kata Leak di Bali. Singkat cerita, Mpu Bradah yang sakti mandraguna berkunjung ke Bali. Ia ingin menguji kesaktian Mpu Kuturan kakaknya. Pertempuran adu kesaktian berjalan berhari-hari akan tetapi tak kunjung ada yang kalah sampai akhirnya Mpu Bradah memutuskan untuk berhenti dan kembali ke Jawa. Mpu Bradah dalam perjalanan pulang ke Jawa, setelah lewat di lautan luas selalu dihadang ombak yang sangat besar dan akhirnya selalu kembali terdampar ke pesisir Silayukti. Beliau menyerah dan akhirnya mengakui bahwa kakaknya Mpu Kuturan lebih sakti darinya. Juga memutuskan untuk menemani kakaknya di Silayukti. Beliau berdua akhirnya Moksha di Silayukti dan masing-masing telah mempunyai Pura Perhyangan. Silsilah Mpu Kuturan Ida Bhatara Lingsir Hyang Pasupati menurunkan Sang Hyang Putranjaya, Sang Hyang Dewi Dhanu dan Sang Hyang Genijaya. Sang Hyang Genijaya (melinggih di Pura Lempuyang Luhur) menurunkan Panca Dewata, yaitu:
Sekedar tahu, Sanak Sapta Rsi diturunkan oleh Mpu Gnijaya yang beristrikan Ida Bhatari Dewi Manik Geni yaitu putri dari Ida Bhatara Putranjaya.
sumber: banyak sumber dan pinisepuh Pemujaan horisontal dan vertikal Horisontal – Budha - Perdhana
Mpu Kuturan, meringkas sekte pemujaan menjadi Trimurti: Brahma, Wisnu dan Ciwa yang akhirnya dalam desa pekraman menciptakan 3 soroh pura:
1. Pura Desa : Sthana Ida Bhatara Brahma 2. Pura Puseh: Sthana Ida Bhatara Wisnu 3. Pura Dalem: Sthana Ida Bhatara Ciwa Ida Bhatara Brahma
Menitis ke Hyang Genijaya yang bersthana di Pura Lempuyang Luhur, Beliau dianggap yang menguasai hal-hal spiritual beserta sub-subnya termasuk usadha (balian).
Ida Bhatara Wisnu
Menitis ke Ida Bhatara Dewi Dhanu, Beliau Bersthana di Pura Batur, Ulun Danu. Beliau dianggap yang menguasai hal-hal kesuburan, kesejahteraan, kekayaan dan welas asih.
Ida Bhatara Ciwa
Beliau menitis ke Hyang Putranjaya, menurut penuturan Pinisepuh, Beliau belum bersthana di mana-mana tetapi sementara ini Beliau melinggih di Gunung Agung dan beliau juga dianggap yang berkuasa atas ha-hal2 kepemerintahan.
Sekte-sekte yang dimaksud:
Sebenarnya ada banyak sekali sekte namun sekte ini adalah sekte-sekte yang dianggap besar pada jaman tersebut seperti sekte yang menyembah: Bhatara Bayu, Bhatara Indra, Bhatara Kala, Sambu yang menyembah arca. Sekte ini mengadakan paruman atau pesamuan atas pimpinan Mpu Kuturan yang saat itu menjabat sebagai Senopati Raja di Bali dan tempat pertemuan tersebut kemudian dibangun Pura Samuan Tiga yang terletak di desa Bedulu, Gianyar.
Vertikal – Ciwa – Purusha
Mpu Kuturan juga melahirkan konsep pemujaan ke atas yang di wujudkan dengan Tri Purusha yaitu:
Ciwa
Disimbolkan dengan keberadaan gunung karena merupakan Sthana Dewata tertinggi di alam Bali dan gunung tersebut adalah gunung Agung yang disimbolkan sebagai Ciwa di mana pura Kahyangan Jagat Besakih didirikan sebagai pusat Leluhur Nusantara sekarang ini.
Sadaciwa
Adalah manifeatasi dari Ida Bhatara Sang Hyang Ismaya atau dikenal dengan Sabda Palon atau dikenal juga sebagai Semar atau Tualen di Bali. Beliau adalah pengemong atau yang menjaga dan penasehat para Leluhur dari jaman ke jaman. Dikhabarkan bahwa sebelum Kerajaan Majapahit runtuh Sabda Palon berjanji untuk kembali lagi 500 tahun kemudian untuk membangkitkan kembali ajaran Ciwa Budha.
Paramaciwa
Beliau adalah Ida Betara Lingsir Hyang Pacupati sendiri yang menurunkan umat manusia. Adalah tingkatan tertinggi dari tatanan kehidupan manusia du dunia.
Perpaduan konsep horisontal (mendatar) dan vertikal (atas bawah) kalau digabungkan adalah Tapak dara, Purusha Pradhana, Rwabhineda yang disebut dengan Ardhanareswari yaitu Bapak dan Ibu atau Ciwa (bapak) dan Budha (ibu), Padamasana adalah Ciwa dan Rong Tiga adalah Budha, menjadi satu disebut Hyang Tunggal dan segala sebutan Beliau Hyang Widhi Wasa. Karya Spiritual Mpu Kuturan Sungguh kemampuan yang sangat luar biasa yang dimiliki oleh Beliau Mpu Kuturan. Peninggalannya tentang konsep pemujaan Ciwa Budha adalah karya spiritual yang sungguh hebat karena menyatukan kerumitan silsilah Dewata menjadi konsep sederhana yang sangat mudah untuk dipahami dan lestari sampai sekarang. Berikut adalah karya spiritual Mpu Kuturan:
Pura-pura Karya Mpu Kuturan
Menurut penuturan Pinisepuh masih banyak pura-pura bersejarah dan berhubungan dengan Beliau. Pinisepuh tengah melakuakn perenungan dan semedhi untuk memohon petunjuk selanjutnya. Note: Tulisan ini disusun dari hasil percakapan saya dengan Pinisepuh. Walaupun ada beberapa buku pegangan sebagai bantuan akan tetapi saran Pinisepuh lebih baik ditulis sesuai dengan apa-apa yang Pinisepuh ungkapkan. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar